Amygdala

TW // Possible mention of trauma, self harm, and mental issues.

Inspired by:

Amygdala – Agust D

.

.

Dari sekian banyak hal tentang healing, tidak pernah ada yang menyebutkan betapa menyedihkannya relapse. Sekilas momentum saat kau pikir kau sudah sembuh, namun ternyata belum. Setelah tidak terbiasa dengan rasa sakitnya, mereka kembali. Tiba-tiba, di satu hari yang baik-baik saja, kamu harus terbiasa (kembali) dengan luka yang terbuka.

Seperti kotak pandora yang tidak sengaja terbuka. Pintu yang telah kamu tutup erat, bahkan mungkin telah kamu lupakan, suatu hari terbuka. Menghisapmu kembali masuk, seperti pasir hisap. You know you can survive, but the pressure are suffocating.

Sebatang rokok di antara jari, pil-pil putih di telapak. Entah sejak kapan pemandangan ini menjadi asing. Baru sebulan, pikirmu sembari melepas tawa. Miris. Rasanya kamu baru saja baik-baik saja. Sebulan terasa seperti sehari, terlalu sebentar bagimu yang sudah hidup dalam gelap belasan tahun.

Bahkan luka di lengan masih berbekas.

Tidak ada yang mengingatkanmu tentang kambuh.

Kebanggaan telah sembuh sejak 30 hari lalu menghentikanmu untuk meminta bantuan. Lagi, kamu memasuki fase topeng. Menutupi rasa luka yang sama, meski atas alasan yang berbeda. Kamu berharap rasa luka itu tidak pernah ada dari awal; segala teriakan, bentakan, dan kekecewaan tidak pernah terekam sejak awal.

Andai saja begitu, kamu tidak perlu harus mencari tombol berhenti untuk kaset memori yang telah rusak. Telah lama kamu memohon seseorang menghentikan rekaman pilu dan trauma. Sudah sejak lama kamu memilih hanya menonton, tersiksa sepanjang film terputar. Tidak berdaya. Seakan dipaksa menikmati siksaan, berpura-pura menjadi masokis.

Rokok dan pil masih berada di tangan. Akalmu yang tersisa berjuang mengingatkan bahwa kedua hal itu bukan escape terbaik. Silet di meja seberang pun bukan opsi yang tepat.

Kamu tahu, kamu paham.

Ingin berteriak, tapi untuk apa. Kamu paham tidak ada satu hal pun yang meredakan rasa sakitnya.

Kamu sudah lupa, bernafas pernah seberat ini. Kamu sudah lupa bagaimana rencana untuk mati pernah menjadi satu-satunya alasan kamu masih hidup. Ada banyak rencana yang belum kamu coba; kini otak kecilmu tergoda untuk mencoba satu.

Karena baik healing dan rencana tersebut memiliki tujuan yang sama dengan pendekatan yang berbeda.

Kamu hanya ingin suara di otakmu berhenti.

Dirimu hanya ingin merasakan hidup.

Karena sepanjang kaset berputar, kilas hidupmu hanya seputar rasa sakit. Kamu tidak ingat satupun memori yang membuatmu hidup. Tidak kelahiranmu, tidak hari pertama sekolah, ataupun hari dimana kamu telah selesai sidang skripsi.

Bahkan kamu tidak yakin alasanmu untuk sembuh lebih kuat daripada rasa sakitnya. Keinginanmu untuk menciptakan rumah, karena kamu telah menjadi tuna wisma sepanjang ingatanmu. Mampir dari satu rumah ke rumah lain hanya untuk merasa nyaman, meski selalu berakhir dengan goresan luka baru.

Kamu tidak yakin apakah kamu kuat untuk menciptakan rumah bagi para tuna wisma sepertimu.

Jika rasa sakitnya sebesar ini, apakah alasan sesederhana itu bisa membuatmu bertahan sedikit lebih lama?

Sekali lagi kamu memandangi rokok dan pil, masih dalam posisi yang sama. Rekaman kaset rusak masih membuatmu merasa sesak. Lemah. Rapuh. Tiba-tiba dunia yang sempat terasa hangat mendingin kembali.

Sekali lagi kamu tertawa, miris. Menyalahkan orang lain yang tidak mengingatkanmu soal kambuh. Kamu bukan orang yang mudah menyalahkan orang lain, tapi setidaknya hari ini kamu ingin dimaklumi.

Setidaknya di hari seperti ini, kamu ingin membiarkanmu rapuh; menjadi versi dirimu tanpa topeng dan dinding apapun. Mungkin dengan cara ini, kamu tidak memerlukan cara lari yang semakin menjatuhkanmu lebih dalam.

2 responses to “Amygdala”

  1. Keinginanmu untuk menciptakan rumah, karena kamu telah menjadi tuna wisma sepanjang ingatanmu.

    aku paling suka kalimat itu, terima kasih sudah berbagi tulisan ini.

    1. thank you so muchh! ❤

Leave a comment